Skandal Pungli di Kantor Samsat Kabupaten Gorontalo: Suara Mahasiswa Bongkar Dugaan Praktik Pungli

GORONTALO, (Kabargorontalo.id)— Dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan pelayanan pajak kembali menjadi sorotan. Kali ini, keluhan datang dari Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Gorontalo, Wahyudin S. Dai, yang mengungkap langsung pengalaman tak mengenakkan saat melakukan pembayaran pajak di Kantor Pajak Kabupaten Gorontalo.
Wahyudin tidak hanya bicara soal insiden personal, tetapi menyoroti pola yang menurutnya sistemik. Dalam keterangannya, ia menyebut telah diminta sejumlah uang yang tidak jelas dasar aturannya. Uang tersebut memang akhirnya dikembalikan setelah ia mempertanyakannya secara kritis, tetapi menurut Wahyudin, kejanggalan justru muncul karena uang warga lain yang mengalami hal serupa tidak dikembalikan.
“Kalau memang tidak sah, kenapa hanya uang saya yang dikembalikan? Ini artinya ada perlakuan tidak adil dan praktik ini mungkin sudah biasa terjadi, hanya saja tidak pernah ada yang berani bersuara,” ujar Wahyudin. kepada Awak media kamis (12/6/25).
Ia datang ke kantor pajak tidak sendirian, melainkan bersama warga lain yang juga menjadi korban dugaan pungli tersebut. Wahyudin menyatakan memiliki saksi atas kejadian itu dan mendesak agar pihak Kantor Pajak Gorontalo tidak sekadar memberikan klarifikasi formal, tapi benar-benar membuka secara transparan siapa pihak yang terlibat dan bagaimana sistem pengawasan dijalankan.
Yang menarik, Wahyudin menekankan bahwa praktik pungli seperti ini bukan kejadian baru.
“Praktik ini sudah seperti budaya yang bertahan dari tahun ke tahun. Tapi baru kali ini ada yang angkat suara secara terbuka,” tegasnya.
Ia pun mengaitkan hal ini dengan fenomena menjamurnya kendaraan bodong di Gorontalo. Menurutnya, rendahnya kepercayaan publik terhadap sistem pelayanan yang bersih mendorong masyarakat untuk memilih jalur ilegal.
“Saat mengikuti aturan, masyarakat justru merasa diperas. Ini membuat mereka akhirnya memilih untuk tidak patuh karena merasa sistem tidak melindungi mereka,” ujarnya tajam.
Menanggapi tudingan tersebut, pihak UPTD Samsat Kabupaten Gorontalo memberikan klarifikasi dengan menyebut bahwa pelayanan di Samsat melibatkan tiga lembaga berbeda: UPTD Badan Keuangan Daerah, Kepolisian, dan Jasa Raharja.
“Kami hanya menangani pajak daerah. Soal STNK, plat nomor, dan cek fisik kendaraan adalah ranah Kepolisian. Sementara Jasa Raharja mengurusi asuransi kecelakaan,” ujar Kepala UPTD.
Pernyataan ini justru memperlihatkan kekacauan koordinasi dalam pelayanan publik. Alih-alih menjelaskan alur pertanggungjawaban secara komprehensif, klarifikasi ini dinilai oleh sejumlah kalangan sebagai bentuk “lempar bola panas” antar lembaga.
Apa yang diungkap Wahyudin menunjukkan betapa akar masalah bukan hanya pada oknum, tetapi pada struktur pelayanan publik yang lemah dalam pengawasan dan transparansi. Ketika satu insiden kecil berhasil disuarakan, terbuka kemungkinan bahwa praktik seperti ini sudah lama terjadi dan membudaya, namun terbungkam karena tidak ada saluran aspirasi yang efektif. (**)